Friday, November 2, 2007

Kasmaran*
Oleh: Robith Qoshidi

Mengangkasa
Mengudara
Mendengar suara burung beterbangan
Dibisiki cerianya alam
Dikitari langit putih kebiru-biruan
Beralaskan hijaunya hutan

Tiba-tiba aku diguyur cahaya
Lalu lidah menggetarkan nama
Dan darah mengalirkan asma'
Dalam nafas yang menghempaskan dunia

Sepertinya aku di surga
Menikmati cumbuan yg maha
Mendadak resahku hilang
Takutku jauh terbuang
Cintaku mengembang
Aku kasmaran

Tuhan, oh Tuhan
Jangan, oh jangan
Sekali-kali kau tinggalkan


*Diambil dari kumpulan puisi yang berjudul "Risalah Cahaya"
Nun dan Cahaya yang Turun*
Oleh: Robith Qoshidi

Nun
Dan cahaya yang turun

Menyentuh hati
Mencium sanubari
Sejukkan raga ini
Enyahkan endapan emosi

Keluarkan asap Co2
Mengepul di telinga dua
Sirami pemantik huru-hara
Lalu menggigil dalam api dunia

Hidupkanku dari liang lahat
Lorong-lorong gelap orang tersesat
Dari bangsa bangsat
Dan manusia keparat

Keluarkanku dari himpitan
Kekacauan dan tekanan
Antara mati dan hidup yang membingungkan
Dari rendaman laut kesedihan

Kau serupa lampu
Dalam gelapnya samudra biru
Bebaskan sesaknya jiwaku
Dari tindihan yang mencekik
Dari hiu dan arwana yg mencabik

Seperti Yunus yg mendekam dalam perut Nun
Lalu Cahaya-NYA turun
Memberikan nafas baru
Dengan kekuatan malaikat seribu
beranikan untuk berseru
Menuju cahaya yg satu

Puncak kegembiraan
Pucuk kebahagiaan
Tujuan sejati semua insan


*Diambil dari kumpulan puisi yang berjudul "Risalah Cahaya"
Menunggu Mati*
Oleh: Robith Qoshidi

Dan hilang
Terbang
Mengasap di mayapada
Lebur menjadi udara

Tak berbekas
Sirna jelas
Terbuang lepas
Dimakan malas

Tak ada arti
Siapa yang mencari
Terasing tak ada yang peduli
Demi waktu yang telah lari
Sungguh manusia hanya menunggu mati


*Diambil dari kumpulan puisi yang berjudul "Risalah Cahaya"
Taubat Nasuha*
Oleh: Robith Qoshidi

Di dalam pekat yg hitam
Titik dosa menjadi kelam
Dinding hatiku berwarna malam
Keras, membatu, menerjang, membangkang

Cahaya bintang tetap gelapkan malam
Menghembuskan redup yang redam

Kapankah datang tujuh cahaya surga
Atau tetesan air telaga Musthafa
Yang mampu melenyapkan durja
Durhaka setan-setan neraka
Menjadi suci dalam taubatan nasuha


*Diambil dari kumpulan puisi yang berjudul "Risalah Cahaya"
Pemberi Syafaat*
Oleh: Robith Qoshidi

Segunung duka yang terpendam
Selaut tangis yang disembunyikan
Siapakah yang kuat menahan
Kecuali orang yang diberkati
Dari manusia yang terkasih
Sahabat para malaikat
Junjungan umat di timur dan barat
Penanggung dosa
Penolong raga yang nista
Pengembala jiwa yang tersesat
Kekasih ilahy
Khalifah rabbany
Yang tanpa duka
Yang tanpa tangis
Penyejuk hati insani
Pemberi syafaat surgawi


*Diambil dari kumpulan puisi yang berjudul "Risalah Cahaya"
Mukasyafah Pertama*
Oleh: Robith Qoshidi

Seorang yang tidur terlentang
Di tengah malam
Beralas rumput-rumput taman
Diterpa angin sepoi-sepoi sedang
Mendengar lagu-lagu alam
Tiba-tiba terang menyelimuti semesta
Serupa cahaya surga
Aku melihatmu, Tuhan
Aku melihatmu
Jadikan aku hambamu, Tuhan
Jadikan aku hambamu

Dan orang itu masih tidur terlentang


*Diambil dari kumpulan puisi yang berjudul "Risalah Cahaya"
Lupakah Kau*
Oleh: Robith Qoshidi

Lupakah kau
Akan doa para perantau
Di sepinya sebuah pulau
Di tanah yang diberkati
Lembah suryani, tempat para nabi
Kekalkan aku, Tuhan
Bersama murid-muridku, Tuhan
Lalu ia berkata, kecuali yang mendzolimi
diri mereka sendiri
Akan kumasukkan dalam lembah adzab
Tempat para durhaka tak beradab

Lupakah kau
Akan doa-doamu sendiri
Lalu kau kekal sendiri
Sedang murid-muridmu kau biarkan masuk neraka
Bahagiakah kau dalam derita
Kau fana di surga
Dan muridmu baqa dalam siksa

Lupakah kau
Akan doamu sendiri


*Diambil dari kumpulan puisi yang berjudul "Risalah Cahaya"
Pemanggul Arsy*
Oleh: Robith Qoshidi

Pergi kau, Sugriwa
Panah-panah setan sang durja
Mengusik ketentraman sukma
Yang hanya ingin diam berdzikir
Menaruh hati di tempat para sholihin berparkir
Biarkan aku tertidur dalam jaga
Fana dalam gapura semesta
Di bawah langit sang maharaja
Memanggul Arsy yang mulia
Bersama malaikat,syuhada,awliya, dan anbiya
Tanpa kau,sugriwa
Panah-panah setan sang durja


*Diambil dari kumpulan puisi yang berjudul "Risalah Cahaya"
Pertapa Suci*
Oleh: Robith Qoshidi

Seorang yang menyendiri
Tapi dihormati
Pertapa suci
Di gunung yang tinggi
Menyepi
Tak peduli
Apa yang terjadi
Karena dia bukan Sang Hyang widi
Tapi hanya pertapa suci
Yang berkata:
bertahanlah
bertahanlah
bertahanlah

Demi manunggaling kawula bumi
Manunggaling kawula galaksi
Manunggaling kawula insani
Manunggaling kawula rabbi
Demi 'sir' kehidupan sejati


*Diambil dari kumpulan puisi yang berjudul "Risalah Cahaya"
Syatahat Pertama*
Oleh: Robith Qoshidi

Demi ruh yang merasuk dalam tubuh
Serupa telunjuk 'kun' yang menyuruh
Menyatroni alam
Serupa matahari yang memutar bulan
Kalau aku mau kuhancurkan semesta
Tapi aku tak ingin lancang durhaka
Sebab tuhan menyayangi jagat raya dan manusia

*Diambil dari kumpulan puisi yang berjudul "Risalah Cahaya"

Haruskah Kebenaran Menggilas Kemanusiaan?

[Kajian Sosiologis terhadap Dinamika Intelektual Islam][1]

Oleh: Robith Qoshidi

"Syariat itu mengandung kemaslahatan bagi manusia di dunia dan akherat"

(Al-Izz bin Abd as-Salam, 660 H)

"Manusia telah mati"

(Michel Foucault, 1984 M)

Pendahuluan

Ada satu hal yang memprihatinkan saat kita mengikuti kajian keislaman dewasa ini. Itu karena kajian keislaman kurang memberikan porsi yang cukup bagi diskursus kemanusiaan. Diskursus keislaman lebih mementingkan kajian nalar dan kebenaran. Inilah yang membuat setiap kelompok pemikiran menganggap dirinya paling benar. Kalangan liberal menganggap bahwa problem umat Islam hanya bisa diselesaikan dengan akal. Kalangan fundamentalis menganggap solusinya harus mengembalikan semua masalah pada teks dan nalar keagamaan.

Dua aliran ini kemudian menjadi aliran besar dalam dinamika intelektual Islam dewasa ini. Mereka berseteru. Serta ada upaya untuk saling menafikan satu sama lain. Padahal awalnya mereka sama-sama berupaya untuk mengembangkan Islam. Tapi akhirnya mereka terjebak pada permusuhan antar sesama muslim. Permusuhan ini tidak hanya sebatas silat lidah. Bahkan sampai saling memojokkan satu sama lain.

Kalangan liberal menganggap kaum fundamentalis sebagai kaum yang jumud, stagnan, mundur, kolot, dan tak tercerahkan. Sebaliknya kalangan fundamentalis menuduh kaum liberal sebagai antek Barat, tidak Islami, hizbu asy-Syaitan, bahkan difatwa kafir dan halal darahnya. Sebut saja nama yang pernah dihalalkan darahnya adalah Ulil Abshar Abdallah dari Indonesia, dan Nasr Hamid Abu Zaid dari Mesir. Sedangkan contoh yang meninggal karena dibunuh kaum fundamentalis adalah Hussein Marwah (1987 M) dari Lebanon. Nyawa manusia boleh dihabisi atas nama kebenaran. Mengenaskan.

Kondisi ini mirip dengan Barat saat masih di abad kegelapan. Para pemikir yang menentang gereja dihalalkan darahnya. Banyak pemikir yang mati dipancung atau digantung. Sebut saja Galileo Galilei yang dikenal sebagai ilmuwan yang mati karena mempertahankan keyakinannya bahwa matahari adalah poros tata surya. Tapi karena itu bertentangan dengan keyakinan gerejawan, maka darah Galileo Galilei boleh ditumpahkan.

Fenomena ini menyiratkan bahwa seringkali kita terjebak dalam pertikaian berdarah atas nama kebenaran. Kondisi ini biasa saja bagi orang yang lebih mementingkan kebenaran daripada kemanusiaan. Maka pertanyaannya akan ada berapa nyawa lagi yang melayang atas nama kebenaran, atas nama agama, atas perang melawan musuh Tuhan atau atas nama demokrasi?

Pertanyaan lain apakah benar agama Islam sedemikian bengisnya? Bukankah agama Islam diturunkan untuk rahmatan lil alamin. Kajian historis membuktikan bahwa kalau kita terus menerus mempertahankan diskursus keagamaan seperti ini, maka Islam lama-lama akan hancur. Islam akan terkapling-kapling dan tak akan pernah bertemu. Karena pendekatannya adalah mencari siapa yang benar. Tentu setiap kelompok akan mengaku yang paling benar. Jadi saat ini kita membutuhkan sebuah pemahaman keagamaan yang mampu mengakomodir perbedaan. Kita membutuhkan diskursus bersama yang membukakan mata kita bahwa penyelesaian masalah tidak harus dengan satu cara dan satu kebenaran.

Dari sini kita tidak bisa memutlakkan penyebab kemunduran umat Islam karena tidak memiliki nalar rasional. Sebab ternyata Mesir yang menjadi gudang ilmu tidak lebih baik dari Arab Saudi yang tak memperbolehkan kebebasan berpikir. Serta tidak mutlak karena tidak menjaga tradisi Islam. Karena Afghanistan yang mengaku menjaga tradisi Islam, nasibnya tidak jauh lebih baik dari Tunisia yang cenderung sekuler.

Relatifitas di atas mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa yang lebih penting bukanlah mencari siapa yang paling benar. Tapi justru kita harus mencari solusi agar setiap tawaran pemikiran tidak menimbulkan pertumpahan darah atas nama kebenaran. Itulah yang membuat kita harus menggeser diskursus yang ada di dalam dunia Islam. Dari diskursus yang selama ini berporos pada kebenaran menuju pada kemanusiaan. Kita mencoba menjadikan semua masalah yang ada di dunia Islam sebagai bagian dari problem kemanusiaan, bukan problem kebenaran.

Kemanusiaan adalah titik temu dari perbedaan-perbedaan pemikiran yang ada. Karena segala pemikiran pada dasarnya ingin mengkontribusikan diri untuk maslahat manusia. Ini juga yang melatar belakangi datangnya agama Islam.[2] Bukan begitu?! Serta atas nama kemanusiaan kita harus menolak segala pemikiran yang tidak menghargai kemanusiaan. Sudah saatnya kita menghentikan darah yang terus mengalir dewasa ini. Sudah saatnya kita menghentikan letusan bom yang meledak setiap hari. Atas nama kemanusiaan.

Tema kemanusiaan (humanitas) memang telah lama hilang dari polemik keilmuan, baik di dunia Islam ataupun di dunia Barat. Sejak perang dunia, perang dingin dan perang terhadap terorisme, Barat sudah kehilangan sisi kemanusiaannya. Maka wajarlah jika Michel Foucault (1984 M) meneriakkan, "manusia telah mati". Ini bukan berarti manusia sudah tidak ada lagi di muka bumi. Melainkan kajian dan nilai kemanusiaan telah hilang dari diskursus keilmuan. Manusia dan kemanusiaan sudah tidak mempunyai arti dalam dunia sains dan teknologi. Maka kita seharusnya mengembalikan tema kemanusiaan ini sebagai tema sentral dalam setiap diskursus ilmiah yang ada.

Di sisi lain ini sebagai upaya penggeseran pemikiran untuk melampaui diskursus liberalisme dan fundamentalime. Agar diskursus keislaman bisa selangkah lebih maju dari capaian pemikiran sebelumnya. Makalah ini menawarkan pergeseran diskursus kebenaran menuju pada diskursus kemanusiaan. Maka dari itu makalah yang singkat ini dibagi menjadi tiga sub judul pokok. Sub judul pertama, Mengkritisi Kebenaran yang Tidak Manusiawi. Sub judul ini mengkaji akar kemunculan pemikiran yang a-humanis (tidak manusiawi) dalam dunia Islam. Sub judul kedua, Toleransi Epistemologik Demi Kemanusiaan. Sub judul ini mencoba untuk merancang iklim ilmiah yang kondusif untuk menghargai perbedaan epistemologi. Serta menggeser kajian kebenaran menuju kajian kemanusiaan. Sub judul ketiga, Mengkampanyekan kajian humanitas dalam diskursus keislaman.

Mengkritisi Kebenaran yang Tidak Manusiawi

Sejak peradaban Islam mulai mundur, kajian kemanusiaan menghilang. Karena di abad ini para ideolog dan teolog menghegemoni pemahaman keagamaan umat Islam. Sehingga abad ini dikenal dengan abad scholastik Islam. Di mana pelajaran-pelajaran keislaman di madrasah-madrasah Islam dipaket dalam madzhab-madzhab tertentu. Seperti madzhab Sunni, Syiah, Ahmadiyah, Wahaby, dan lain sebagainya. Jadi kebenaran bukan lagi milik umat Islam secara umum, tapi milik madzhab-madzhab tertentu. Siapa yang di luar madzhab maka dianggap salah dan tak jarang halal darahnya. Inilah yang melatar belakangi konflik berdarah di Iraq dewasa ini antara kelompok Sunni dan Syiah.

Faham keagamaan dalam paket 'madzhab' ini mengkristal di abad yang juga dikenal sebagai abad syarh dan hasyiyah (komentar dan catatan pinggir). Karena mayoritas para pen-syarh hanya akan menjelaskan kitab-kitab yang sealiran dengan madzhab pemikirannya. Syarh (penjelasan) sendiri selalu mengandaikan adanya 'kebenaran' dalam kitab yang dijelaskan. Lalu agama dijelaskan melalui perantara kitab-kitab syarh ini.

Inilah yang membuat adanya tingkatan (thabaqat) dalam memahami agama. Masyarakat awam tidak langsung memahami Islam dari al-Qur'an dan al-Hadits seperti para imam madzhab. Tapi masyarakat awam berada pada tingkat paling bawah. Di atasnya ada penulis hasyiyah, di atasnya lagi ada penulis syarh, di atasnya lagi ada penulis matn kitab. Eksistensi 'tingkatan' ini kemudian didukung dengan munculnya kitab-kitab thabaqat. Seperti contoh Thabaqat Syafiyyah Kubra milik as-Subky. Adanya tingkatan ini kemudian membuat umat Islam tidak mengakses agama secara langsung dari teks primer. Tetapi harus melalui ring-ring pemahaman para ulama yang setingkat di atasnya. Fenomena thabaqat ini kemudian membuat ulama-ulama dan kitab-kitabnya mempunyai nilai sakral.

Sakralitas ini kemudian diperkuat dengan masuknya nilai teologis dalam setiap lini keilmuan. Seperti ushul fiqih yang dimasuki unsur kalam (teologi) di masa mutaakhirin. Ibnu Khaldun menuliskan bahwa fenomena ini menjadi kecenderungan para ahli ushul fiqh mutaakhkhirin.[3] Maka kemudian kitab fiqih mempunyai muqaddimat kalamiyah. Dari itulah fiqh yang mulanya tidak sakral akhirnya menjadi lebih sakral.

Anehnya kitab-kitab kalam (teologi) mendukung hal tersebut. Di abad-abad kemunduran Islam, ilmu kalam mengangkat beberapa tema yang tak seharusnya ada dalam kajian tauhid. Seperti kebenaran imam fiqh empat dan keabsahan empat khulafa' rasyidin. Itu tertulis dalam kitab kalam yang cukup terkenal semisal jauhar tauhid milik al-Laqqany. Dengan ini seakan-akan kita harus mengimani al-aimmah al-arba'ah dan mengikutinya.[4] Dari sini kita akan mengetahui betapa konsentrasi kita sejak abad kemunduran adalah kebenaran, dan siapa yang paling benar. Yang sayangnya tak dibarengi dengan konsentrasi pada kemanusiaan.

Terbukti status keislaman bukan dicirikan dengan seberapa banyak anda mengkontribusikan diri untuk kemaslahatan manusia. Melainkan apakah anda golongan saya atau golongan dia. Apakah anda Sunni, Ahmadiyah, atau Syiah. Kalau anda golongan dia maka anda masuk neraka. Begitulah, fanatisme semakin mengental dan berimbas pada pemahaman keagamaan di abad ini. Sebuah pemahaman keagamaan yang mempunyai kecenderungan untuk saling bermusuhan. Bahkan tidak hanya sebatas terhadap pemain lama. Malahan ada upaya untuk mencari musuh-musuh baru. Seperti upaya untuk memusuhi setiap gerakan pemikiran yang dianggap tidak sesuai dengan madzhab tertentu.[5] Umat Islam menjadi tidak dewasa menghadapi perbedaan pemikiran.

Masih untung di masa keemasan Islam, perbedaan pendapat disediakan ruang dialog. Seperti masa dinasti Abbasiyah yang dikenal dengan majalis ilmiyyah-nya, yang diadakan di masjid-masjid tertentu dan di hari-hari tertentu. Dan para ulama tidak serta merta menyalahkan perbedaan pemikiran. Tetapi selalu ada adu argumentasi dalam percaturan intelektual. Namun saat ini iklim ilmiah itu menghilang. Dikarenakan generasi abad kemunduran tidak ada lagi yang mempunyai keahlian argumentasi seperti jaman keemasan Islam. Jadi solusinya setiap perbedaan pemikiran dibungkam dengan ancaman kafir. Kalau kafir berarti ia halal untuk dibunuh. "Biar tidak banyak omong," mungkin begitu yang terlintas dalam benak mereka yang tak berjiwa besar.

Pemahaman keagamaan dalam paket madzhab ini kemudian diperparah saat bersinggungan dengan politik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap dinasti di masa klasik menganut madzhab tertentu. Contoh dinasti Bani Buwaih (945 M- 1055 M) yang menganut madzhab Syi'ah, dan dinasti Seljuk (1038-1194M) menganut madzhab Sunni. Keterkaitan dengan kekuasaan dan militer ini kemudian memberikan 'otoritas relatif' bagi setiap madzhab untuk menumpas habis penganut madzhab lain. Hingga ada upaya membungkus kepentingan madzhab dalam kebijakan politik. Sebaliknya ada upaya untuk membungkus kepentingan politik dengan bahasa agama. Hingga terjadilah politisasi agama.

Kajian-kajian sosiologis dewasa ini menyebutkan adanya relasi erat antara kepentingan politik dan kepentingan madzhab. Maka dari itu terma-terma agamis seperti zindiq, kafir, dan ahl ahwa' wa al-bida' sebenarnya mempunyai keterikatan dengan kepentingan politik.[6] Seperti contoh alasan al-Hallaj dihukum pancung ternyata tidak murni masalah keagamaan. Tapi lebih karena keterikatan al-Hallaj dengan gerakan pemberontakan Qaramithah. Atau alasan mengapa al-Ghazali mengkafirkan filosof semisal Ibnu Sina. Ternyata lebih dikarenakan Ibnu Sina mempunyai hubungan dengan Syi'ah yang menjadi musuh utama dinasti Abbasiyah. Keterikatan antara madzhab dan kekuatan politik ini akhirnya bisa menghadirkan semacam keberanian untuk membela diri dan menyerang penganut madzhab lain. Sehingga demi kejayaan madzhab, apapun akan dilakukan. Walaupun nyawa manusia menjadi tumbalnya. Sungguh sangat menyedihkan.

Andaian untuk membela diri dan menyerang sebenarnya masih bisa ditolerir bagi para intelektual yang mampu menghadirkan argumentasi. Lagi-lagi fakta menyingkap bahwa generasi abad kemunduran tidak mampu menghadirkan argumentasi. Terlebih kalangan awam. Yel-yel membela tradisi Islam sudah tidak ilmiah dan tidak profesional lagi. Kita mempunyai contoh sosiologis dalam masyarakat pedesaan di Indonesia. Orang bisa dianggap tidak Islami hanya karena tidak memakai songkok. Lalu jika terlihat ada orang yang tidak memakai songkok maka dianggap kaum modernis yang tidak Islami. Lebih dari itu, fakta mencatat pertikaian yang cukup sering bahkan berdarah antara kaum tradisional dan kaum modernis.

Di lain pihak kita juga sering mendengar penolakan terhadap semua hal yang berbau Barat, terlepas sebenarnya mereka tahu atau tidak apa yang mereka tolak. Seperti demokrasi, HAM, konsep nation state dan semacamnya. Bagi penulis menyebarnya faham Barat bukan salah orang Barat. Tapi lebih dikarenakan umat Islam sudah tidak mampu bersaing secara intelektual dengan orang Barat di tingkat internasional. Tapi sayangnya ketidakmampuan adu argumentasi ini dibungkus dengan bahasa agama. Maka terdengarlah ucapan, itu kan tradisi Kristen, itu kan budaya Barat yang materialis, itu bukan ajaran Islam.

Padahal semua lebih dikarenakan anak didik generasi abad kemunduran tidak mampu berdialog dengan pemikiran di luar Islam. Jangankan berdialog dengan pemikiran di luar. Malahan mereka sebenarnya tidak tahu secara detail bagaimana pemikiran madzhabnya sendiri. Kebanyakan orang ahl Sunnah, Asyairah tidak tahu bagaimana sich pemikiran Ahl Sunah dan Asyairah itu. Yang mereka tahu kita harus menjaga tradisi Ahl Sunnah dari rongrongan madzhab lain. Sesiapa yang melakukan rongrongan terhadap madzhab maka dituduh kafir, murtad, bid'ah, tidak Islami, musuh Tuhan dan lain sebagainya. Bahkan tak jarang difatwa mati. Atas nama kebenaran kemanusiaan tidak ada harganya. Tapi penulis tak tahu kebenaran yang mana? Apakah kebenaran politik, ideologi, pribadi, kelompok atau kebenaran ilahi.

Karena apa yang dikatakan kebenaran dan keislamian ternyata berbeda antara satu madzhab dengan madzhab yang lain. Bahkan masing-masing madzhab mengaku lebih islami daripada yang lain. Namun sayangnya upaya menampakkan keislamian ini tidak dibarengi dengan upaya menjunjung kemanusiaan. Seakan ada keterpisahan antara kebenaran dan kemanusiaan. Dan umat Islam lebih mementingkan kebenaran daripada kemanusiaan.

Senasib dengan kajian keagamaan. Kajian rasionalitas pun sama saja sering melupakan kemanusiaan. Inilah yang menyebabkan terciptanya senjata pemusnah massal, semisal nuklir dan bom atom. Atas nama rasionalitas, sains kemudian melahirkan sesuatu yang menggilas kemanusiaan. Bahkan tak jarang manusia mengeksploitir manusia lain dengan ilmu pengetahuan ini. Kolonialisme adalah contoh konkrit yang menegaskan bahwa tingkat kepintaran manusia tidak serta merta memunculkan sifat manusiawi. Justru dengan pengetahuan, penjajahan secara langsung dan tidak langsung dilancarkan. Itulah yang terjadi di abad globalisasi saat ini.

Ini dikarenakan setiap keilmuan bisa dimobilisir oleh kepentingan ideologis tertentu. Kajian-kajian terbaru tentang epistemologi mengafirmasi bahwa setiap pengetahuan tidak bisa lepas dari ideologi. Jadi jika kita tak mengisi nilai kemanusiaan dalam perkembangan keilmuan, maka dunia keilmuan akan dibajak oleh kepentingan yang tak bertanggung jawab. Itulah yang diteriakkan kaum eksistensialis saat merespon kehidupan ilmiah di abad modern.

Sudah saatnya menyeimbangkan antara subjek kajian dan objek kajian. Jangan mentang-mentang menjadi objek kajian, kemudian alam semesta dan komunitas lain bisa diperlakukan semena-mena. Dari itu kalau dulu Descartes mengatakan bahwa, 'aku berpikir maka aku ada'. Maka Edmund Husserl mengatakan, 'aku berpikir maka aku (kemanusiaan) adalah objek pikiran'. Jika ada upaya untuk sama-sama menghargai antara subjek dan objek kajian, maka keilmuan bisa menghargai kebenaran dan kemanusiaan sekaligus.[7]

Sebenarnya dalam tradisi keislaman, gerakan yang berupaya untuk mensinkronasikan antara kebenaran dan kemanusiaan adalah gerakan kaum sufi. Secara historis kaum sufi muncul sebagai counter terhadap pemahaman keagamaan yang leterlek.[8] Faham keagamaan yang dikomando oleh para teolog (mutakallim). Mereka memahami agama secara hitam putih dan cenderung kering. Para teolog menjadikan tauhid hanya dijadikan sebatas alat untuk menentukan mana yang salah. Mereka hanya berupaya untuk menegaskan kebenaran kelompok mereka dan berupaya mencari kesalahan kelompok lain. Mereka mendekati teologi dengan pendekatan rasionalis. Itulah yang membuat mereka kehilangan sisi intuitif dan sisi spiritual dari teologi. Maka bermunculanlah kajian heretik (zindiq) yang bertujuan untuk mencari pendapat siapa yang benar dan pendapat siapa yang salah. Semisal kitab al-Milal wa an-Nihal milik asy-Syahrastani dan al-Farqu Baina al-Firaq milik al-Baghdadi.

Berbeda dengan kaum sufi yang mampu menembus sekat-sekat perbedaan rasional. Mereka relatif mampu menyelami tujuan syariat yang tak terbatas pada penilaian mana yang salah dan mana yang benar. Tapi mereka mampu menyelami hakekat keagamaan yang rahmatan lil alamin. Kaum sufi bukan hanya berhasil menembus sekat perbedaan antara umat Islam saja, bahkan bisa menemukan titik temu perbedaan antara agama Islam dan agama lain. Menurut Ibn Arabi (638 H) agama itu sejak dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad sama, hanya syariat-nya saja yang berbeda. Semua agama berasal dari satu Tuhan. Semua agama mengajarkan kebenaran dan kemanusiaan. Jadi tidak perlu ada pertumpahan darah antar sesama manusia walau berbeda agama.

Di sisi lain kaum sufi juga muncul sebagai counter terhadap kebobrokan akhlaq para penguasa. Khususnya di saat Bani Umayyah melakukan pelanggaran etis dan menumpahkan banyak darah manusia, bahkan sampai sayyidina Husain beserta keluarganya di Karbala.[9] Kaum sufi tidak tinggal diam. Dari itu Hasan al-Bashry (110 H) yang disinyalir menjadi moyang kaum sufi mengkritisi perilaku Bani Umayyah. Serta mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan itu bukan ajaran Islam.[10]

Tapi sangat disayangkan kritik aktif kaum sufi terhadap dunia sosial ternyata tidak berlanjut. Setelah mereka menemukan kesalahan para politikus dan pelaku sosial lainnya, mayoritas dari mereka memilih untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan lebih senang menyendiri (uzlah), fana dengan makrifatullah. Mereka lebih memikirkan Tuhan dan melupakan problem kemanusiaan, serta tidak ikut aktif lagi dalam dinamika sosial. Tapi untungnya masih ada kaum sufi pada abad modern ini yang berupaya ikut andil menyelesaikan problem kemasyarakatan. Seperti tarekat Sanusiyah dan tarekat Mahdiyah yang ikut andil dalam mengusir penjajah dari tanah Afrika Utara. Namun fenomena ini sangat sedikit. Karena kebanyakan kaum sufi lebuh khusyu' berdzikir dan melupakan hal-hal duniawi. Sehingga kaum sufi tidak bisa menyeimbangkan secara profesional kontribusi untuk alam duniawi dan alam ukhrawi.

Ketidakseimbangan ini mengandaikan adanya keterpisahan antara kebenaran dan kemanusiaan. Sehingga manusia sudah dianggap baik hanya dengan mencapai kebenaran, atau yang disebut makrifatullah. Dalam kajian ilmu kalam pun seakan-akan pengetahuan terhadap akidah yang shahih sudah cukup membuat seseorang disebut Islam. Bahkan ada anggapan bahwa teori lebih penting dari aksi. Maka dari itu ulama kalam lebih senang berdebat daripada beraksi. Lagi-lagi ada pemisahan antara konsep kebenaran dan kemanusiaan. Bagi penulis keterpisahan konsep kemanusiaan dan kebenaran juga dikarenakan pemahaman keislaman yang tidak lagi integral paska mangkatnya Rasul Saw. Pemahaman keislaman dikapling-kapling secara independen dalam dunia syariat, dunia akhlaq, dan dunia teologi. Bahkan terkadang setiap keilmuan itu tidak memiliki keterikatan otomatis.

Maka dari itu ilmu kalam yang dianggap sebagai ilmu ushul (pokok), tak mempunyai hubungan paralel dengan ilmu fiqh yang dianggap sebagai ilmu furu' (cabang). Begitu juga dengan ilmu tasawuf tak mempunyai hubungan yang paralel dengan ilmu fiqh. Seakan-akan setiap keilmuan itu berdiri sendiri. Padahal Rasulullah Saw saat mengkampanyekan tauhid langsung berimbas pada kritik dan perbaikan akhlak kaum Jahiliyyah yang tak menghargai kemanusiaan. Juga berimbas langsung pada penataan relasi intern antar umat muslim dan ekstern dengan agama lain di Madinah, serta meratakan keadilan bagi seluruh umat manusia. Dengan satu kalimat kebenaran 'La ilaha illa Allah', Rasulullah memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Jadi sudah seharusnya perjuangan membela kebenaran tak boleh dilepaskan dengan perjuangan membela kemanusiaan.

Toleransi Epistemologik Demi Kemanusiaan

Kemanusiaan adalah titik temu antara berbagai perbedaan pola pikir. Jadi perbedaan pola pikir tidak harus mengakibatkan pertikaian bahkan peperangan. Karena perbedaan adalah sunnatullah. Tidak usah mencari perbedaan dengan non muslim. Di dalam tubuh umat Islam sendiri ada perbedaan. Di setiap lini keilmuan Islam selalu ada perbedaan. Kita sering mendengar perselisihan antara kaum mutakallimin (teolog) dan kaum fuqaha, kaum fuqaha dan kaum sufi. Karena setiap kalangan mempunyai pendekatan keagamaan yang berbeda-beda.

Perbedaan itu harus dihargai. Dan perbedaan itu tidak berarti ada kelompok yang tidak rasional. Bahkan menurut penulis setiap kelompok mempunyai sisi rasionalitas. Hanya saja rasionalitas kalangan teolog, sufi, dan fuqaha berbeda satu sama lain. Kalau kaum teolog menggunakan akal baru dicocokkan dengan teks. Maka kaum fuqaha menggunakan teks, kemudian kalau tidak ada teks baru menggunakan akal dan qiyas. Sedangkan kaum sufi menggunakan penalaran lewat intuisi dan hati.

Dari itu penulis tidak sepakat dengan Abid Jabiri yang membela rasionalitas ala kaum filosofis saja, serta menolak rasionalitas ala kaum fuqaha, teolog dan kaum sufi.[11] Tentu tesis ini akan mendapatkan resistensi besar-besaran dari kalangan agamawan. Bukan hanya karena kaum agamawan mempunyai bangunan epistemik yang relatif kokoh. Tetapi Jabiri tidak menghargai model epistemologi non filosofis. Padahal dunia posmodern justru menghargai setiap pola pikir yang ada. Tanpa ada upaya meminggirkan perbedaan model pemikiran.

Upaya untuk meminggirkan pemikiran yang berbeda ala Jabiri ini adalah sesuatu yang berbahaya. Bahkan fenomena ini menegaskan kebenaran tesis Michel Foucault tentang relasi antara pemikiran dan kekuasaan (hegemoni). Menurutnya Foucault setiap pemikiran selalu ingin berkuasa dan menafikan pemikiran yang lain. Padahal setiap pemikiran mempunyai hak untuk diapreasiasi. Bahkan lebih dari itu model pemikiran ala sufi, fuqaha, dan teolog ternyata secara relatif mampu mengelaborasi mantik dan filsafat. Terbukti kajian sufi mampu mengelaborasi mantik dan filsafat di tangan Ibnu Araby, Suhrawardi, Ibnu Masarrah dan Ibnu Sab'in. Kajian fiqih pun mampu mengelaborasi mantik di tangan Ibnu Hazm dan al-Ghazali. Terlebih kajian kalam yang disinyalir sebagai filsafat ala Islam yang otentik. Di tangan Fakhruddin ar-Razi dan al-Baidlawi ilmu kalam mampu berkolaborasi dengan kajian mantik dan filsafat. Maka menuduh kaum fuqaha, teolog, dan sufi tidak rasional merupakan pandangan sebelah mata.

Tuduhan tidak rasional terhadap semua golongan selain filosof adalah tindakan yang egois. Bahkan akan menyebabkan pertikaian yang berlarut-larut antara setiap epistemologi pemikiran yang berbeda. Perselisihan ini akan menyeret pada upaya menegaskan siapa yang paling benar di antara epistemologi yang ada. Bahkan dinamika intelektual akan terjerumus pada kajian yang melupakan sisi kemanusiaan dan terjebak dalam perdebatan kebenaran yang abstrak. Dari itu perlulah diadakan dialog antara sistem berpikir yang berbeda-beda. Dialog ilmiah ini mengandaikan adanya pencarian titik temu antara perbedaan pemikiran yang ada. Bukan saling menjatuhkan dan saling menafikan. Dialog adalah pintu untuk menghilangkan egoisme demi menuju masyarakat yang lebih humanis.

Di samping dialog perlulah diadakan studi banding antara sistem berpikir yang berbeda-beda. Jadi kalau dulu ada perbandingan fiqh maka sekarang harus ada upaya perbandingan epistemologis. Sehingga kita mampu menemukan apa sebenarnya yang dituju oleh setiap pemikiran. Dan maslahat kemanusiaan harus menjadi tujuan bersama bagi setiap pemikiran yang berbeda. Sedangkan perbedaan pemikiran sendiri adalah rahmat bagi umat manusia. Kita berhak untuk memilih yang lebih baik dari pemikiran yang ada. Kondisi ini mengandaikan adanya kebebasan untuk memilih. Ibnu Rusyd menegaskan bahwa ketika kita banyak belajar maka kita akan lebih mampu memahami sistem dalam alam semesta ini.[12] Itulah yang membuat kita lebih bebas memilih dan lebih objektif dalam memandang persoalan. Dari sini bisa ditegaskan bahwa rasionalitas yang sejati itu hanya akan mampu didapat, jika kita mengetahui banyak hal dan mensinkronasikan antara satu pemikiran dan pemikiran yang lain.

Kalau kita mengikuti sejarah kebenaran maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa kebenaran itu tidak hanya di dalam dunia filsafat. Bahkan kebenaran dalam filsafat itu selalu berubah dan berkembang. Kita ambil contoh Aristoteles yang dulu dibangga-banggakan sekarang justru ditinggalkan. Mantiq qadim ala Aristoteles telah diganti dengan mantiq jadid ala Francis Bacon dan John Stuart Mill.[13] Karena rasionalitas dan kausalitas itu tidak terjadi setelah kita teorikan. Justru sebaliknya kausalitas itu ada dengan sendirinya lalu kita mencoba menteorisasikannya dan menjalankannya. Jadi perjalanan ilmiah masih panjang dan selalu akan berkembang. Itulah jawaban mengapa rasionalitas ala filosof klasik sudah tidak digunakan lagi. Karena kajian ilmiah selalu berkembang dan bergeser untuk menyingkap teka-teki yang ada di alam semesta ini.

Relatifitas dalam rasionalitas ini kemudian membukakan mata kita agar kita tidak menafikan rasionalitas non filosofis, seperti rasionalitas ala sufi, fuqaha dan teolog. Bahkan upaya untuk mengkampanyekan rasionalitas ala filosof adalah upaya untuk menyamakan antara dunia sains dan dunia agama. Padahal logika modern menegaskan bahwa setiap disiplin ilmu mempunyai logika sendiri. Logika dalam kajian sosiologi berbeda dengan logika dalam kajian kimia. Sama saja logika dalam agama akan berbeda dengan logika dalam mengembangkan sains.

Maka dari itu semua agamawan mengakui bahwa pelajaran keilmuan duniawi harus dikaji secara logis dan rasional. Berbeda dengan kajian keagamaan, maka kaum teolog, sufi dan fuqaha mempunyai sistem berpikir sendiri-sendiri. Inilah yang menyebabkan mengapa agamawan bisa tetap eksis sampai detik ini. Karena agamawan melakukan separasi antara dunia keilmuan dan dunia keagamaan. Maka pengembangan rasionalitas tidak harus merubah epistemologi agama. Tetapi wacana pengembangan nalar itu dicover dengan istilah upaya untuk menyeimbangkan imtaq (iman dan takwa) dan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi).

Jadi menuduh agamawan tidak rasional adalah sebuah ketidak dewasaan berpikir. Serta tidak membuka mata terhadap kontribusi positif agamawan dalam kehidupan sosial. Bahkan tuduhan itu akan memunculkan tuduhan balik dan perselisihan tak bisa dihindari. Padahal tidaklah penting bagi kita apakah kita mempunyai pola pikir tekstual, intuitif atau rasional. Asalkan selalu mengusung nilai kemanusiaan. Karena perbedaan pendapat itu pasti ada. Serta perbedaan madzhab pemikiran itu pasti wujud. Kalau seandainya masih ada yang ngotot untuk memenang salah satu pola pikir, maka itu tindakan yang tidak realistis, mungkin justru radikal. Hanya dengan toleransi pemikiran kita mampu berjalan bersama. Dan hanya dengan toleransi pemikiran perdebatan tentang kebenaran bisa dihentikan, menuju komitmen bersama untuk menegakkan nilai kemanusiaan.

Mengkampanyekan Humanitas dalam Diskursus Keislaman

Menegakkan nilai kemanusiaan sangat penting sekali saat ini. Karena itu problem bersama baik di dunia Barat ataupun dunia Timur. Mengingat kekerasan sudah merebak di mana-mana. Dinamika sosial masyarakat di Barat maupun di dunia Islam dewasa ini mengarah pada pelanggaran kemanusiaan yang luar biasa. Karena dinamika sosial di Barat dan di Timur digerakkan oleh radikalisme. Kalau di dunia Barat dinamika sosial digerakkan oleh keangkuhan militernya. Sedangkan di dunia Islam digerakkan oleh Islam politik yang lebih mementingkan formalitas daripada esensi keagamaan. Itulah yang menyebabkan kemanusiaan menjadi tema pinggiran dalam dinamika sosial dan diskursus keilmuan.

Kemanusiaan akan terpinggirkan dalam dinamika radikalisme. Karena radikalisme dan kemanusiaan sendiri adalah musuh bebuyutan.[14] Oleh sebab itu kemanusiaan dan peradaban tak akan bisa berkembang di dalam naungan radikalisme. Sebab pengembangan peradaban membutuhkan kedamaian, sedangkan kedamaian tidak akan ada dalam gerakan radikal. Kedamaian juga dibutuhkan untuk menjaga kehidupan umat manusia. Tapi kedamaian dan kemanusiaan tidak akan bisa tumbuh dalam kondisi tegang yang penuh teror dan radikalisme. Sebab gerakan sosial yang mengarah pada radikalisme tidak akan pernah memikirkan nasib kemanusiaan.

Konskwensi dari radikalisme yang paling disayangkan adalah menghilangnya spirit kemanusiaan dalam sistem pendidikan. Karena radikalisme tidak akan memunculkan generasi lain kecuali generasi radikal. Buktinya pelaku pemboman terhadap rakyat sipil di Indonesia itu ternyata kebanyakan lulusan dari prajurit perang Afghanistan. Bisa jadi mengusir penjajah di Afghanistan adalah pekerjaan yang mulai. Tetapi pemboman terhadap rakyat sipil di Indonesia tidak bisa ditolerir. Karena membunuh rakyat sipil tidak pernah diperbolehkan oleh Islam.

Jadi sudah saatnya kita ikut andil dalam menghentikan gerakan kekerasan dan kebrutalan ini. Kita perlu membuka mata dan mengambil sikap terhadap kemanusiaan yang sedang diinjak-injak di abad ini. Kita memulainya dengan mengurangi permusuhan antar umat manusia. Bahkan jangan menambah permusuhan lagi dengan sesama kaum Islam. Inilah yang menjadi problem dalam diskursus keislaman. Kajian sosio-historis terhadap diskursus keislaman menyingkap adanya pertikaian yang tiada henti antara pendukung rasionalitas, intuisi dan teks. Kalau hal ini dibiarkan maka akan mengubah aktifitas adu mulut menjadi adu senjata di jalanan. Dari itu perlu untuk mengubah poros kajian tentang siapa yang paling benar menuju siapa yang paling bermanfaat untuk kemaslahatan manusia.

Perdebatan mana yang lebih benar antara rasionalitas dan intuisi harus ditinggalkan. Perdebatan antara agama dan filsafat juga harus ditinggalkan. Karena diskursus ini menjebak pada kajian abstrak tentang kebenaran yang bisa mengakibatkan perselisihan. Itu tidak hanya terjadi di dunia Islam, tapi juga di dunia Barat. Diskursus kebenaran di abad modern akhirnya mengakibatkan kemunculan dua kekuatan sosial yang pro dan kontra terhadap agama atau filsafat. Antara kekuatan ini saling menjatuhkan sama lain. Padahal keduanya sama-sama menginginkan kontribusi untuk menyelesaikan problem kemanusiaan.

Oleh karena itu filosof kontemporer seperti Carl Jung dari kalangan psikoanalisis, Wlliam James dari kalangan Pragmatis, Husserl dari kalangan eksistensialis, mulai melirik sisi positif agama. Sebaliknya para filosof juga mulai mengkritisi rasionalitas an-sich. Maka muncullah Kant yang mengkritisi akal murni, Hegel yang mengkritisi akal yang tak berimbas pada aksi dan maslahat kemanusiaan. Para pemikir mulai menghindari epistemologi radikal yang berusaha untuk menyingkirkan salah satu antara filsafat dan agama. Dunia sudah lelah untuk mendiskusikan itu. Apalagi setelah ditemukannya konsep relatifitas dan masyarakat Barat masuk dalam dunia posmodern. Kondisi ini menggiring pemikir untuk menghargai setiap perbedaan pemikiran dan perbedaan epistemologis.

Kalau kita hanya mengenal maqashid syariah, maka saat ini kita harus menemukan maqashid al-aql (tujuan menggunakan akal). Keduanya akan mengantarkan pada sebuah persamaan persepsi, bahwa rasionalitas, tektualitas, dan intuisi sama-sama dibuat untuk maslahat kemanusiaan. Dan ternyata itu benar adanya. Karena para filosof, sufi, dan fuqaha sama-sama bertujuan untuk mencapai kemaslahatan manusia. Hanya saja bentuk aplikasinya dan ungkapannya berbeda-beda. Kalau filosof dan fuqaha selalu berupaya untuk mengkaitkan kemanusiaan dengan kehidupan sosial dan kenegaraan. Sedangkan kaum sufi selalu mengaitkan kemanusiaan dengan ketuhanan dan balasan di alam lain (akherat). Maka dari itu mereka berbeda-beda mempunyai poros yang berbeda dalam mengkampanyekan kemanusiaan. Kaum fuqaha memperjuangkan kemanusiaan atas nama keadilan hukum. Kaum filosof memperjuangkan kemanusiaan atas nama maslahat sosial politik. Kaum sufi memperjuangkan kemanusiaan atas nama akhlaqul karimah.

Menemukan titik temu ini sangat penting sekali demi terciptanya kondisi sosial dan ilmiah yang humanis. Karena Rasulullah sendiri memperjuangkan agama tidak untuk agama tapi untuk rahmatan lil alamin. Untuk kemaslahatan manusia dan alam semesta. Islam yang diajarkan rasul bukanlah untuk berdebat mencari siapa yang benar kemudian melupakan kemanusiaan. Jadi diskursus kebenaran yang melepaskan diri dengan kemanusiaan bukanlah ajaran ajaran Rasul Saw.

Islam yang diajarkan Rasulullah selalu berusaha untuk mecari titik temu antara perbedaan demi maslahat umat manusia. Maka dari itu Rasulullah membuat beberapa kali perjanjian damai dengan Kafir Mekah dan dengan Yahudi Madinah. Menurut penulis konsep genjatan senjata (muahadah) ini tidak hanya diterapkan di dalam dunia sosial, kalau bisa juga diterapkan dalam dunia pemikiran. Perjanjian damai mengandaikan adanya penghargaa terhadap perbedaan epistemologi dan pemikiran. Hanya dengan itu kemanusiaan akan mempunyai nilai yang sama beratnya dengan kebenaran. Serta sebagai upaya untuk mengkampanyekan kemanusiaan dalam diskursus keislaman.



[1] Makalah ini dipresentasikan dalam acara diskusi rutin JATMNU, pada tanggal 6 April 2007, di sekertariat PCI-NU Mesir

[2] Izzuddin bin Abd as-Salam, Al-Qawaid al-Kubra (al-Mausum bi Qawaid al-Ahkam fi Ishlah al-Anam), Dar al-Qalam, Damaskus, 2000, Vol I, hal.6

[3] Ibnu Khaldun, al-Mukaddimah, Cairo, Dar asy-Sya'b, t.t, hal. 420

[4] Al-Baijury, Tuhfah al-Murid Fi Hasyiyah Jauharah at-Tauhid li al-Laqqany, ditahqiq oleh Ali Jum'ah, Dar as-Salam, Kairo, hal.247

[5] Ini bisa dilihat dari kajian aliran pemikiran (tayyarat al-fikriyah al-muashirah) yang menjadi diktat kuliah di universitas al-Azhar. Kajian ini tidak murni objektif. Sebab kajian ini hanya bertujuan untuk menegaskan kesalahan-kesalahan pemikiran-pemikiran yang muncul di abad modern. Seperti aliran materialis, pragmatis, positivisme, dan eksistensialisme.

[6] Abdurrahman Badawi, Min Tarikh al-Ilhad fi al-Islam, Sina Li an-Nasyr, Kairo, tt, hal 36

[7] Bandingkan dengan makalah Robith Qoshidi: Dari Rasionalitas Menuju Humanitas; Melampaui Rasionalitas Jabiri. Tidak diterbitkan

[8] Bandingkan dengan makala Robith Qoshidi: Tasawuf dalam sejarah Islam; Upaya Membangun Masyarakat Tanpa Negara. Tidak diterbitkan.

[9] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, Maktabah an-Nahdhoh al-Mashriyah, Kairo, 1978, hal. 270

[10] Ma'bad al-Juhni dan Atha' bin Yasar pernah bertanya pada Hasan Bashri: Wahai Abu Said (ini panggilan kunyah Hasan al-Bashri), para penguasa (Bani Umayah), menumpahkan darah umat Islam dan mengambil harta mereka, seraya berkata sesungguhnya apa yang kami lakukan telah ditakdirkan oleh tuhan. Hasan Bashri menjawab: telah berdusta musuh-musuh Allah itu.

[11] Ini bisa dilihat dari karya Abid Jabiri yang berjudul Kritik Nalar Arab. Di sana Abid Jabiri menegaskan tentang pentingnya merasionalkan pola pikir Arab-Islam. Abid Jabiri mengkampanyekan rasionalitas ala Islam di bagian Barat. Serta menafikan pola semua pola pikir selain rasional. Baik itu pemikiran kaum fuqaha dan mutakallimin yang mempunyai nalar bayani. Atau kaum sufi yang mempunyai nalar irfani.

[12] Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal, Markaz al-Wihdah al-Arabiyah, Beirut, Cet III, 2002, hal 91

[13] Tim penyusun dari jurusan Aqidah Filsafat, Fi al-Mantik al-Hadits wa Manahij al-Bahts, diktat al-Azhar, Kairo, hal.23

[14] Muhammad Arkoun, Ma'arik min Ajli al-Ansanah fi as-Siyaqat al-Islamiyah, diterjemahkan oleh Hasyim Sholeh, dar as-Saqi, Beirut, 2001, hal. 68